5 Years. And We Moved Out.

MOVING... to www.mariskova.com

Dalam rangka merayakan ulang tahun saya tanggal 8 kemarin dan sekaligus merayakan 5 tahun saya ngeblog di alamat blogspot bersejarah ini, tanggal 8 Maret 2010 ini saya memutuskan pindah rumah. Kepindahan pakai dot com yang bayar adalah untuk memotivasi saya supaya kalau malas posting langsung berasa ke ulu hati akibat meteran jalan terus.

*background gendang ditabuh bertalu-talu*

Blog saya yang baru ada di mariskova dot com. Silahkan dikunjungi atau dikomentari atau diketawai atau diberi hadiahi.
Mohon maaf sebelumnya, blog yang baru masih dalam tahap perbaikan layout. Ibarat rumah, masih renovasi disana sini. Jadi, jangan heran kalau dalam beberapa waktu ke depan, tampilannya bisa gonta-ganti ketika mood saya ikut gonta-ganti. Maklum, layout gratisan. Belum ada yang sreg di hati.

Soal layout gratisan ini, ada cerita sedih dibaliknya.
Ceritanya saya sudah menemukan designer pujaan untuk merenovasi mariskova dot com itu. Eh, sehari sebelum saya melakukan MOU, saya jatuh sakit, Hikari jatuh sakit, si Kumendan jatuh sakit, dan kita sakitnya pake beronde pula. Alhasil, hasrat untuk mempekerjakan designer profesional ditunda dulu sampai bujet terkumpul kembali. Amiiiiin.

Mari kita boyongan ke rumah baru. Mariiii...
PINDAH YUUUUK

And then we get inspired...

Kali ini saya ingin bicara soal jenis-jenis manusia yang bisa menginspirasi orang lain. Biasanya orang baik dan hebat (baca: pintar, pemberani, saint-like heart) memang dapat dengan mudah membuat orang lain terinspirasi: Mother Theresa, Pak Budiono, Barrack Obama, sampai para hollywood superhero di tivi. Lalu ada orang-orang hebat lainnya seperti Bung Karno, bahkan Pak Harto, lalu Hitler, sampai Einstein.
Sayangnya, kebanyakan dari kita dilahirkan jadi manusia biasa yang masuk kategori lagu 'rocker juga manusia'. We get angry, we curse, we swear, we fight, we kick the dustbin... Lalu kapankah giliran kita untuk menjadi inspirasi orang lain?

"Yeah, right, De'. Menginspirasi orang lain? Menginspirasi diri sendiri aja susah!"
Pernah nonton Sue Sylvester di Glee?

There's not much of a difference between a stadium full of cheering fans and an angry crowd screaming abuse at you. They're both just making a lot of noise. How you take it is up to you. Convince yourself they're cheering for you. You do that, and some day they will. And that's how Sue C's it. (Sue Sylvester)


Saya sedang keranjingan nonton Glee. Bukan untuk mendengarkan lagu-lagu lawas yang dinyanyikan lagi di seri itu, tapi untuk menonton seorang Sue Sylvester, pelatih klub cheerleaders yang sangar, kasar, dan menyebalkan. Menonton karakter Sue, saya melihat betapa seorang yang menyebalkan dan jelas bukan saint-like bisa sangat menginspirasi.

Menginspirasi?
Kok bisa seorang manusia menyebalkan seperti dia menginspirasi orang lain saya?
Buat saya, sosok Sue disitu melambangkan kebenaran yang seringkali pahit. Life sucks, reality bites, but that's a fact. What you are going to do about it is what matters.
Sue juga melambangkan keteguhan hati dan kekuatan mental. Saat dia bilang, "Never let anything distract you from winning. Ever." Sue sedang mengajarkan bahwa being a winner requires an attitude. Winning is an attitude, itself.

Menurut saya, seseorang yang mampu untuk menginspirasi orang lain adalah seseorang yang mampu berpikir, bertindak, mempunyai visi, lebih besar dari dirinya sendiri. Buat Sue, winning is everything. Walaupun motifnya untuk menang bisa jadi menyebalkan dan self-centered, kemenangan itu toh kemenangan seluruh sekolah. Menjadi orang yang menyebalkan itu gampang. Menjadi orang yang menyebalkan tapi bisa membuat satu sekolah menang, itu menginspirasi.
Setelah itu, seseorang yang mampu untuk menginspirasi orang lain adalah seseorang yang, seperti kata Simon Cowell, berbeda. Visinya berbeda, caranya bertindak berbeda, caranya berpikir berbeda. Seorang penyanyi bisa saja punya suara bagus tampang cantik, tapi ada ribuan orang lain dengan suara bagus dan tampang cantik. Distinguished, different, unique, one of a kind, kata Simon Cowell.

Jadi, kesimpulan sementara saya, karena saya bukan Bung Karno dan bukan Mother Theresa apalagi Einstein, apabila saya ingin jadi orang yang bisa menginspirasi orang lain, saya harus punya visi yang lebih besar dari diri saya sendiri. Selain itu, saya juga harus unik, beda, gak biasa. Karena kalau tidak unik dan hanya biasa saja, semua orang juga bisa. Bukan begitu?

catatan: tentu saja tulisan ini hanya teori. Prakteknya saya malah belum pernah menginspirasi orang lain... *tersenyum kecut*

A Hallmark Card for You, Nek

Nek, if I were a Hallmark Card writer, this was what would appear on your birthday card:

I was wondering what I could give for your birthday.
And I have been doing that for weeks.
Wondering what to give to you, I mean.
I was thinking... books? chocolate? a bucket of flowers? books? Edward Norton's collection of underwears?
Na-ah.
And then I was thinking about writing a poem.
It turned out that I was not that poetic.
Sigh.
Then, I started to write a story. A very short story.
My story stopped on the first page.
Just like our drafts.
After that, I was thinking about my own book.
But... you know what happened.
It would be too late.

So, I drafted some lines in this blog.
Probably, I could start with some thank-yous.
Thank you for your friendship.
Thank you for the plus plus of your friendship.
Thank you for your trust.
Thank you for your ears.
Thank you for being there.
Thank you for being you.
But... I kept thinking they are not enough.
So, I am writing this now feeling disappointed with myself for not being able to give you the best birthday gift ever.
Except for two promises.
One is that I will always cherish your friendship.
And two is that I will always bring you to every Pesta Blogger I attend.

Fitri Mohan,
Happy Birthday.
I keep saving my hugs for you until the time we are destined to meet.
Happy Birthday, darling.

Karena Istri adalah Perempuan

Di tengah keriuhan itu, tebersit keharuan saat Antasari memeluk kedua putrinya. Tidak jauh dari sana, Ida Laksmiwati, istri Antasari, melayani pertanyaan wartawan. Tidak ada air mata di matanya. Ia tampak tegar menjawab setiap pertanyaan yang diajukan para wartawan. 'Kompas'


Bu Ida berbeda dengan Bu Nova. Dengan air mata berurai, suara lantang Bu Nova terdengar ke seluruh penjuru ruangan saat wartawan mewawancarainya. Bu Nova bilang dia tidak mengatakan suaminya tidak bersalah, tapi dia yakin bersumpah suaminya bukan pembunuh.

Siapa sih istri yang bisa menerima suaminya seorang pembunuh? Apalagi bila suami yang dikenalnya adalah seorang laki-laki biasa, bukan laki-laki mengerikan yang terlihat bisa menebar teror. Tapi, bila pun suaminya itu ternyata benar-benar membunuh, rasa syok seorang istri mungkin berangsur-angsur akan hilang setelah mengetahui kenapa suaminya sanggup membunuh. Kenapa, itu kata kuncinya.

Sekarang,
siapa sih istri yang bisa menerima suaminya seorang peselingkuh? Apalagi bila perselingkuhan itu bisa dibuktikan dan bisa ia dengarkan sendiri detilnya. Apalagi bila ternyata dia menjadi orang terakhir yang tahu tentang perselingkuhan itu. Apalagi bila ternyata dia harus mendengarkan cerita tentang perselingkuhan itu sembari ditonton orang banyak.
Apakah rasa syok seorang istri bisa berangsur hilang?
Tidak.
Sampai mati pun, kata kunci kenapa tidak akan pernah menyembuhkan rasa sakit hati seorang istri.

Orang-orang Yang Teraniaya (Panjang nih!)

Ceramah ustadz saya yang paling berkesan buat saya adalah soal doanya orang-orang teraniaya. Kata Pak Ustadz, "doanya orang-orang yang teraniaya itu makbul. Dikabulkan Tuhan."
Sampai gede, becandaan saya dengan teman-teman adalah, "Coy, aniaya gue dong. Gue lagi butuh rejeki berlimpah nih."
Atau kalau hidup serius lagi susah dan saya benar-benar sedang dianiaya orang (atau orang-orang), kalimat penyemangat saya nomor wahid jelas adalah, "Gue ikhlas kok teraniaya begini. Mudah-mudahan doa gue mau keliling dunia terkabul."

Belakangan ini, kalau teman-teman saya bikin saya emosi sedikit, saya bilang ke mereka. "Eh, elo-elo pada udah menganiaya gue tau! Moga-moga doa gue terkabul."
"Doa apa elu?" tanya teman-teman saya.
"Doa mau beli mobil baru."
Herannya, setelah itu mereka langsung baik sama saya. Enggak mau menganiaya saya lagi.

Tapi benar. Saya memang butuh doa beli mobil baru itu terkabul. Ini rekor mobil mogok saya sudah melebihi batas kenormalan sebuah mobil doyan mogok sekalipun. Hmmm... sebenarnya, mogok bukan kata yang tepat. Meleduk! Itu baru kata yang tepat.

Mobil sedan hijau jijay jreng metalik buatan Korea tahun 2006 itu sebenarnya masih kinclong dan mulus lus lus lus. Catnya pun baru. Tapi, penyakitnya adalah gampang panas. Radiator pun jadi mendidih dan... Bleduk! Atau kalau tidak langsung bleduk, biasanya ada suara seperti orang kentut panjang dan kencang lalu dari balik kap mobil keluar asap putih tebal... ppppsssssshhhhhh....

Pertama kali radiator saya meleduk itu tahun 2004 akhir. Rumah saya masih di Halim dan saat itu jam pulang kantor saya lewat di Kebon Nanas. Jalanan macet total. Saya masuk ke jalur lambat yang cuma cukup satu mobil. Tiba-tiba di depan kantor kementrian hidup, ada suara PPPSSSSSSSHHHHHHHHH kencang. Lalu BLEDUK! Kap saya terangkat ke atas. Untung... masih untung kap itu terkait jadi gak langsung njeplak.
Kontan mesin mati. Dan selama hampir semenit kemudian, saya yang tidak pernah mengalami mogok mobil cuma bisa bengong bego. Tidak lama, supir taksi Blue Bird di belakang saya keluar dari taksinya dan tanpa diminta mendorong mobil saya ke dalam halaman kantor Departemen PU dan meninggalkan saya disitu. Teman saya yang diceritain langsung memuji si supir.
"Duh, untung dia baik ya. Gak pamrih gitu."
"Ya, iyalah. Kalo dia gak ngedorong, dia juga gak bisa lewat kali!" kata saya sewot.
Moral of the story: satu kebaikan seringkali ada motif pribadinya juga.

Setelah itu, saya meninggalkan si ijo kinclong itu di Jakarta selama 2 tahun. Pulang dari Jepang, si ijo yang sudah tidak kinclong di cat baru dan didandani rapi lagi. Tapi, penyakit dia belum mau hilang juga.
Pada suatu malam, si ijo panas lagi di antara kemacetan parah di depan Plangi. Papap buru-buru mematikan mobil dan dalam sekejap kami jadi bahan caci maki orang se-Jakarta. Hikari segera terkena panick attack. Dia langsung rewel dan menangis. Si Papap yang sudah gerah diomelin orang, makin naik pitam mendengar tangisan Hikari. Saya lalu memeluk Hikari dan bilang, "Hikari berdoa dulu ya. Supaya di dengar Allah. Dan mobilnya bisa jalan lagi."
Bukannya sok agamis. Saat itu saya juga sedang men-sugesti diri sendiri. Kali aja...
Hikari lalu berdoa kencang-kencang. Dia yang cuma hapal 3 ayat pendek mengulang-ulang doanya. Serasa ada pengajian di mobil mogok kami. Eeeeehhh, ajaib! Tidak lama kemudian, suhu radiator turun dan Papap bisa melipir ke kiri masuk ke dalam pompa bensin! Bahkan kami bisa pulang sampai di rumah dengan selamat tanpa di derek!

Sejak itu, saya kenyang dengan radiator yang demam terus. Bolak-balik bengkel, bolak-balik mogok juga. Rute dari Rawamangun sampai Cibubur sudah pernah saya mogok-i. Terakhir, seminggu lalu, radiator saya demam lagi pas sedang macet-macetnya menjelang gerbang tol TMII pas saya punya janji dengan klien! Saya melipir ke kiri tol, mematikan mesin, dan menyalakan lampu sen kembar itu. Mobil di belakang saya spontan mengklakson galak yang saya balas klakson lagi. Kalo cuma modal klakson, gue juga bisa! Saya segera telpon si Papap di kantor yang langsung memberi instruksi.
"Buka kap mobil."
Saya buka.
"Kamu keluar dulu."
"Aku keluar?"
"Ya iyalah. Ngeliat rusaknya gimana kalau gak keluar?"
Saya keluar dengan enggan. Benar saja. Dari balik kaca-kaca mobil yang lewat, saya bisa merasakan tatapan mata orang-orang. Gue pake kemeja ungu mengilat harus ngebuka kap mobil warna ijo ngejreng gitu loh! Seorang laki-laki penumpang di mobil Terios membuka kacanya setengah dan memperhatikan saya. Spontan saya melotot.
"Apa liat-liat, Pak?!"
Dia langsung menaikkan kaca mobilnya. Tapi saya lupa. Kan jalanan lagi macet. Jadi mobil itu gak bisa kemana-mana juga selain manteng di sebelah saya....

Begitu kap mobil dibuka, Papap langsung bertanya lewat hp.
"Ada yang kebakar?"
"Gak."
"Kipasnya nyala?"
"Gak."
"Mesin nyala gak?"
"Gak."
"Iya makanya kipasnya gak nyala."
"Lah?!"
"Coba cabut sekringnya yang itu."
Saya cabut.
"Liat kaki-kakinya. Meleleh?"
"Iya. Sedikit." Padahal sumpah! Saya gak tau yang namanya sekring meleleh tuh harus kayak gimana.
"Ganti aja. Ambil di bla bla bla..."
Saya ganti sekringnya.
"Nyalain mesin deh."
Saya nyalain mesin.
"Nyala kipasnya?"
"Gak."
"Coba tekan-tekan si sekring."
Saya tekan-tekan. "Gak nyala."
"Tekan yang keras."
Saya tekan keras-keras. "Gak nyala."
"Pukul-pukul."
"Gak nyala."
"Kamu udah pukul-pukul belum?"
"Udah."
"Pukul lagi."
"UDAH! Mau sapa lagi yang aku pukul sini?!"
Singkat cerita, mobil saya harus didorong dua petugas tol sampai ke luar tol TMII. Begitu mereka selesai mendorong, saya kasih mereka uang 70ribu perak. Pas saya cerita ke Papap, dia menjerit.
"70 RIBUUUU?! BANYAAAAKKK bangeeeet!!! Kasih 20 aja buat berdua!"
"Orangnya udah jalan, Babe! Masa mau aku panggil lagi trus suruh ngasih kembalian?!"
Untuk balas dendam, cerita saya ngasih petugas tol 70 ribu diulang-ulang Papap di depan khalayak ramai yang semuanya kontan berteriak, "begoooooo banget sih loooo!"

Kalau anda pikir cerita mogok yang itu sudah klimaks, saya kasih cerita mogok sebelumnya.
Pulang kantor jam 5an sore juga, saya berdua teman kantor, perempuan, lagi sibuk ngegosip sewaktu sudut mata saya melihat jarum penanda suhu radiator bergerak naik. Saat itu macet memang dan saya sedang ada di jalur kanan di lampu merah Penas-Halim. Seorang Polantas sedang sibuk mengatur mobil di lampu merah supaya tidak saling serobot. Saya jelas langsung menyerobot ke kiri.
Baru saja sampai di kiri setelah belokan arah Kalimalang ke Cawang, asap keluar dari bawah kap mobil. Mesin saya matikan, sen kembar dinyalakan, dan saya duduk bengong berdua teman saya. Segera saja perempatan yang sudah macet, jadi tambah macet. Mungkin anda salah satu dari orang-orang yang sore itu kena efek macet akibat mobil mogok saya...

Belum 5 menit duduk di dalam mobil dengan kaca ditutup seluruhnya. Seorang preman mendatangi saya. Dari luar sisi teman saya, dia berteriak-teriak.
"Mogok ya? Mogok ya?"
Teman saya bergidik ketakutan. Saya belum sempat bereaksi begitu dia tiba-tiba berseru, "ada polisi!" Lalu kabur.
Mendengar kata polisi, saya dan teman saya jelas gembira. Tapi kok 5 menit lewat, si polisi gak datang-datang....

Agak lama kemudian, seorang polantas datang dari arah depan. Saya senaaaaang luar biasa. Begitu berada di dekat mobil, saya melongokkan kepala, polantas itu menggerak-gerakkan tanganya menyuruh saya maju. Heh?
"Maju, Bu!"
Maju? Wah, dodol juga nih!
"Mogok, Pak!"
"Mogok?"
"Iya."
"Oh." Lalu si bapak pergi begitu aja.
Sialaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnn....!!!

Kami menunggu lagi. Agak lama.
Tiba-tiba jendela teman saya diketuk. Polantas yang berbeda melongok disitu. Saya sudah hilang girangnya.
"Bu, jangan parkir disini. Ini kan pas belokan."
Saya menarik napas panjang. Panjaaaaaaang.
"Paaaaak, kalau mobil saya enggak mogok, SAYA KAN GAK BAKAL PARKIR DISINI!"
"Tapi ini macet."
"Pak, saya juga tahu ini macet! Mobil ini mogok! Radiator saya kepanasan."
"Tapi mohon pengertiannya, Bu. Yang dimarahin orang-orang bukan Ibu. Tapi saya."
"ASTAGA SI BAPAK! Saya juga minta pengertian Bapak dong! Memangnya saya mau mogok? Siapa sih yang mau mogok?"
Setelah beberapa kalimat naik darah berikutnya....
"Kalau memang mogok, saya panggilkan derek."
Hah? Jadi dari tadi si bapak gak percaya kalau saya mogok?!
"Saya lagi nunggu bengkel saya datang. Tapi kalau Bapak mau panggil derek, silahkan."
Dia manyun. Lalu berjalan ke arah lapo-lapo di pinggir jalan arah terowongan Cawang. Dia memanggil beberapa pemuda tanggung.
"Tolong dorong itu!"
Ya ampuuuuuuuun, kenapa gak dari tadi sih?!

Mobil saya pun di dorong ke pinggir. Ada tempat kecil yang cukup untuk parkir di depan tumpukan sampah. Di kiri saya ada warung minuman kecil, di kanan saya ada warung lapo. Saya langsung mengirim sms ke Papap dan kedua adik saya mengenai lokasi parkir saya yang baru. Sms itu ditambahi embel-embel: Buruan! Banyak preman disini!
Baru sedetik disitu, seorang preman besar, item, dengan kaos merah buntung dan celana pendek, dan udel yang kemana-mana mendekati kaca saya.
"Woi! Parkir jangan disini! Ini tempat angkot. Parkir tempat lain!"
Kali ini darah saya benar-benar mendidih. Jendela saya buka...
"MOBIL GUE MOGOK! BUKAN PARKIR! KALO MAU PROTES GUE BERHENTI DISINI, PROTES TUH SAMA POLISI YANG ITU!"
"TAPI INI BUKAN TEMPAT PARKIR!" balas dia.
"KALO GITU, SITU DORONG INI MOBIL SAMPAI KE POM BENSIN ANGKATAN DARAT DI DEPAN! SEKALIAN PANGGILIN PROVOSTNYA! ATAU SEKALIAN DORONG KE HALIM BIAR GUE LANGSUNG PULANG!"
Teman saya memegangi tangan saya kencang-kencang.
Si preman memelototi saya. Saya pelototi lagi. Sambil ngomel pakai bahasa daerah, dia pergi. Teman saya merepet panjang pendek. Dia menunjuk-nunjuk sekumpulan pemuda tanggung di dekat situ yang sedang memperhatikan saya ngamuk-ngamuk. Saya sudah keburu panas. Saya keluar dari mobil, membuka kap mobil, sambil pasang tampang melotot ke orang-orang disitu.

Kap mobil terbuka dan saya yang jelas-jelas gak ngerti soal mobil berniat membuka tutup radiator. Belum sempat tangan saya membuka tutup radiator, seorang laki-laki tua melarang saya.
"Jangan, Mbak! Jangan! Nanti muncrat!" katanya dengan logat Jawa medok.
"Sini Mbak saya bukain." Dia langsung menyuruh preman-preman tanggung yang dari tadi memperhatikan saya untuk mengambil lap dan air mineral dari warung.
"Nanti muncrat, Mbak."
Dengan baik hati, dia membuka tutup radiator, mengisi tempat coolant dengan air, dan panjang pendek menasihati saya akan bahayanya radiator yang panas. Tanpa aba-aba, pemuda-pemuda tanggung yang tadi bergerombol di depan warung, ikut memeriksa mobil. Kelihatan sekali, Pak Tua itu adalah komandan mereka.
"Maaf, Pak," kata saya. "Saya jadi parkir disini."
"Ah, ndak apa-apa, mbak. Wong mogok'e."
"Ya saya kan enggak enak. Tadi orang sebelah udah marah-marah begitu."
"Dia?!" kata Pak Tua menunjuk si Preman buluk tadi.
"Saya ini Arema, Mbak! Dia ndak berani macem-macem, Mbak! Mbaknya ndak usah takut! Mbaknya asal mana?"
Saya sebutkan daerah Ibu saya yang sudah ratusan tahun tidak pernah saya singgahi.
"OOOhhh, kita saudara, Mbak!"
Darimana saudaranya juga saya enggak paham. Jaraknya aja bisa beda halaman peta sendiri. Tanpa ragu, Pak Tua itu langsung nyerocos dalam bahasa Jawa kepada saya.
Mati gue! Saya cuma cengar-cengir.
"Nama saya Mangunlaksono, Mbak. Kalau ada apa-apa disini, sebut nama saya saja."
Saya menangguk-angguk.

Tiba-tiba saya mendengar suara motor di rem. Sesosok laki-laki berhelm, jangkung, menghentikan motornya tepat di dekat mobil dan bergegas melompat dari motornya.
"HEI, MINGGIR SEMUA! GAK USAH DEKAT-DEKAT MOBIL. MINGGIR SEMUA. MINGGGGIIIRR!"

Saya bengong sedetik. Laki-laki itu membuka helmnya.
"PERGI SEMUA! MACEM-MACEM LO YA!"
Saya berkacak pinggang di hadapan dia.
"DODOOOOOLLLLL!" kata saya ke adik saya. "Premannya bukan yang iniiiiiiiiii!"

The Last Green Leaves

I left you when the last warm wind blew from the mountains.
You were standing from a far, watching, until my back disappeared at the corner of the street.
Your eyes were tears and you waved in silence.
But, you didn't say goodbye.

I left you when the last sound from the last student in the classroom slowly disappeared.
You sat down in front of me, watching, until my eyes couldn't hold the tears anymore.
Your glasses slowly blurred.
You told me you were afraid you wouldn't have the chance to meet me again.
You knew it would break my heart but I knew it broke your heart more.

I left you when I could still feel the warmth of your palms.
You made me promise things I wasn't sure I could keep.
Your loving smile did nothing to hide the teary eyes you had.
I wore my biggest smile for you but you knew how much I faked it.
Then we both fell to a silent cry.

I left you when the first cold air brushed our face.
You stood a meter away from me trying to grasp everything.
When I hugged you, you wouldn't let me go.
And after that we didn't know whose tears were on our face.

I turned my back from you and got on that bus
when the last green leaves fell to earth.
You knew how much I wanted to turned back again and ran to you
for I didn't want to leave.
But you also knew it was not my call to make, nor yours.
And the bus door closed when I closed my eyes in tears.
I thought home was the right way to go, but I knew I was home already.

Nobody told me it was this difficult.
Three years passed and I'm still longing for you.
I keep telling myself that time will teach me to forget.
Somehow I want it to fail this time.

You.
Please wait for me.
I will come no matter what.
Or how long it will take.
And I will curse anyone who tell me I can't.
I miss you.
I promise you that.

Kehabisan Alasan

Setiap musim hujan datang, level cerewet dan ngomel saya mendadak bertambah beberapa senti. Penyebabnya bukan banjir, jalanan macet, mobil kotor, jemuran gak kering, becek yang gak ada ojek, atau atap bocor.
Bukan itu!
....................
Oke lah itu juga.
Tapi satu hal lain yang membuat saya darah tinggi di musim hujan adalah fenomena pindahnya koloni semut ke dalam rumah: kamar tidur, kamar mandi, meja makan, sofa, sampai di bawah rak tivi! Mulai dari semut hitam yang besar, semut rang-rang, semut hitam kecil, sampai semut merah halus. Terutama semut merah halus!

Setelah itu, saya lantas mempersenjatai asisten di rumah dengan sabun lantai khusus antiseptik dan kapur pengusir semut. Hasilnya? Ibarat pejuang 45, semut-semut itu mati satu tumbuh seribu. *sigh*
Kalau sudah begitu, saya hanya bisa mengomel sambil nyapu (not necessarily in that order) kepada si Papap.
"Tiap musim hujan, semut-semut masuk rumah lagi, masuk rumah lagi! Huh! Rumahnya kebanjiran kali ye?!"
Eh, tadi, si Papap yang biasanya belagak budek, menjawab, "ah. Musim panas juga pada masuk rumah tuh. Tanahnya panas, rumahnya kepanasan, jadi mereka ngungsi ke dalam rumah."
"Ah, pas musim hujan aja banyak semut."
"Musim panas juga!"
"Ah? Masa'?"
"Iya!"
Saya lalu diam dulu. Sudah lama saya mencari-cari alasan kenapa semut-semut itu menyebalkan. Lalu saya pikir saya mendapatkan penyebabnya: musim hujan. Ternyata papap bilang mereka juga sama menyebalkannya di musim panas. Sementara negara ini cuma punya panas dan hujan. Go figure that out.

So, sometimes, when one thing sucks, it just sucks. Our defense mechanism usually struggles to find an excuse why that something sucks because it often comforts our emotional state. But oftentimes the excuses we are trying to find are not there. Some things simply suck for no reason at all.

Saya jadi ingat seseorang menyebalkan yang saya temui beberapa minggu belakangan. Demi mendamaikan emosi saya, saya tadinya berusaha mencari-cari alasan kenapa dia bisa semenyebalkan itu. Dan sampai sore ini saya tidak bisa menemukan alasannya. Sampai semut-semut memperlihatkannya pada saya.

Now, I have made peace with myself. That person simply sucks. Period.


Sent from my E71 Nokia phone

Pity yourself!

Ketika berada pada kondisi terjepit dimana seorang manusia di kantor saya harus membuat saya mau bekerjasama dengannya, dia berkata begini:
"You don't have to like me. But you still have to do the job!"
Saya spontan nyengir lebar tanpa bisa ditahan.
Respon saya langsung membuat dia layu dan balik kanan bubar jalan. Mungkin dia pikir saya meremehkan intimidasinya. Seandainya dia mendengar gumaman saya saat itu...

If you think working with you while not liking you is a punishment for me, imagine yourself! You have to work with your own self AND you have to like yourself! Ha! Who is more miserable now?


Sent from my E71 Nokia phone

Look Who's Talking

Hujan dari semalam di pagi ini belum juga reda. And I thought I could have a nice comfortable sleep from the sound of the rain.
Jam 6 pagi, hujan masih mengguyur tapi saya sudah harus bangun dan mandi. Kepala yang nyut-nyut karena migrain dan bayangan akan jalanan yang pasti macet berat membuat persiapan saya ke kantor tidak ikhlas. Tidak sepenuh hati. Tapi saya harus bangun karena kewajiban mengantar Hikari ke sekolah.

Jam 7 pagi, saya selesai bersiap dan Hikari selesai makan pagi. Mungkin karena dingin dan kurang tidur, Hikari juga terlihat lesu. Toh dia masih sempat menarik saya segera berangkat karena takut terlambat. Dia masuk jam 7:30. Diantara kelesuannya, dia masih terlihat ikhlas akan kewajiban masuk sekolah.

Keluar dari komplek, saya lihat antrian di jalan Alternatif Cibubur sudah mengular. Sekali lagi saya mengeluh. Saya sudah bisa membayangkan jalanan yang hanya 5 kilometer ke sekolah Hikari pasti juga macet. Apalagi, para polisi senang sekali menutup belokan ke kanan ke arah Cikeas sehingga saya harus menyetir dua kilometer lebih jauh hanya untuk U-turn.

Mendengar saya menghela napas berkali-kali, Hikari bertanya. "Mama kenapa?"
Jawaban saya singkat, "sakit kepala, Nak. Macet lagi."
Hikari diam lagi dan sibuk dengan coretan-coretan gambar dinosaurusnya.

Beberapa ratus meter mendekati belokan ke Cikeas yang ditutup palang, jalanan sudah tersendat. Padahal U-turn masih 4 kilometer lagi. Diseberang belokan, saya bisa melihat seorang polantas mengatur jalan. Tiga mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu berjalan menyebrang ke arah palang jalan. Mata saya terpincing ke arahnya tidak bergerak. Hati saya berdebar keras.
Dua mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu dalam gerakan lambat menarik palang-palang dari belokan. Saya spontan melambatkan mobil yang sudah lambat karena harus mengantri.
Satu mobil di depan saya, dalam satu sentakan, polantas itu membuka belokan dari palang-palang penghalang! Saya memberi sen kanan dan Pak Polantas yang melihat sen saya melambaikan tangan untuk menyuruh saya berbelok.
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!

Mendengar saya terus-terusan berkata Alhamdulillah, Hikari menegakkan tubuhnya melihat ke depan mobil dan bertanya ke saya.
"Kenapa, Ma?"
"Kita bisa belok, Nak. Alhamdulillah."
"Kenapa? Pak Presiden mau lewat?"
(Ya, biasanya belokan dibuka bila Presiden akan pulang ke rumahnya)
"Enggak, Nak. Pak Polisi itu baik hati. Kita dibolehkan lewat."
"Kenapa boleh?"
Saya tersenyum dan tanpa sadar mengeluarkan ceramah khas emak-emak.
"Karena Hikari ikhlas mau sekolah. Kita dibantu Allah. Kalau kita ikhlas, Allah akan bantu."
Hikari menoleh ke arah saya lama.
"Kenapa, Nak?"
"Mama juga ke kantor harus ikhlas..."

Astagfirullah....

Honestly?

Dear you. Yes, you.

Do you honestly believe I would say, "no problem. Perfectly understood." when you were late to pick up your child at my house again for the 101 times?
Do you really think I'd be okay and understanding watching my son's tired face because he missed his nap whenever you failed to show up on time?
Do you honestly expect me to give you my sweet smiles after you fail your promises for the 101 times?
And, do you actually think I can be ignorant with the fact that your child was ruining my no-maid-available-place because your child was bored waiting for you?

Geee... Where do all manners go?
Darling, going shopping, watching a movie at the cinema, having a guest at home, cooking an early dinner at 2pm are not, let me repeat, are not good excuses.
So please believe me when I say I do mind your manners, I want you come right row right then, and I don't do lipservicing. If you think otherwise, you are in a deep denial.

Yours truly.


Sent from my E71 Nokia phone

Blogger Templates by Blog Forum